Kamis, 05 Januari 2012

Biografi Imam Al-Ghazzali

Lahir pada 450 H (1058 M) di desa Taberan distrik Thus, Persia. Dengan nama Abu Hamid Muhammad. Gelarnya adalah "Hujjatul Islam" dan gelar wangsanya adalah Ghazzali. Ayahnya meninggal pada usia muda, sehingga meninggalkannya dalam asuhan ibu dan kakeknya. Ghazzali disebut-sebut sebagai nama sebuah desa di distrik Thus, Provinsi Khurasan, Persia. Menurut Maulana Syibli Nu'mani, leluhur Abu Hamid Muhammad mempunyai usaha pertenunan (ghazzal), dan karena itu dia melestarikan gelar keluarganya (Ghazzali). Pendidikannya. Setelah ayah dari Imam Ghazzali meninggal, ia mempercayakan pendidikan kedua anaknya (Muhammad dan Ahmad) pada sahabatnya yang dipercaya. Lalu ia mengirimkannya ke sebuah Maktab swasta. Keduanya mampu menghafal Al-Quran dengan cepat, lalu mulai belajar Bahasa Arab. Mereka kemudian dimasukkan ke sebuah madrasah bebas (independen). Setelah beberapa waktu Ghazzali meninggalkan desa kelahirannya untuk menempuh pendidikan tinggi di Zarzan dan belajar di bawah bimbingan seorang ulama besar, Imam Abu Nashr Ismail. Setelah itu dia masuk Madrasah Nizamiyah di Nishapur yang waktu itu adalah pusat pendidikan yang terpandang dan dipimpin oleh ulama tersohor bernama Imam Haramin, yang memiliki 400 murid. Tiga diantara sekitar 400 murid itu kemudian menjadi ulama terkenal, Harrasi, Ahmad bin Muhammad dan Ghazzali. Saat gurunya wafat, Ghazzali demikian sedih sehingga meninggalkan Nishapur dan pergi ke Baghdad, ibukota kekhalifahan. Saat itu dia berumur 28 tahun. Di Baghdad dia diangkat menjadi Rektor Madrasah Nizamiyah oleh Nizamul Mulk, wazir kepala sang penguasa Turki Malik Shah. Diangkat pada usia muda untuk jabatan yang tinggi, kemasyurannya sebagai ulama besar menyebar luas dan jauh. Banyak penguasa dan kepala suku datang kepada Imam Ghazzali untuk mendapatkan fatwa dalam perkara teologi dan soal mengurus negara. Dia wafat di desa asalnya, Taberan, pada 14 Jumadil akhir 505 H bertepatan dengan tanggal 19 desember 1111 M. Ibn Jauzi menceritakan kisah kematiannya. Ia berkata, "pada senin dini hari menjelang shubuh dia bangkit dari tempat tidurnya, menunaikan shalat shubuh dan kemudian menyuruh seorang pria untuk membawakan kain kafan kepadanya. Setelah kain itu diberikan, ia mengangkatnya hingga ke mata lalu berkata "Perintah Tuhan dititahkan untuk ditaati". Ketika mengatakan demikian ia menyelonjorkan kaki dan sesaat kemudian ie bernafas untuk terakhir kalinya. Sang imam tidak meninggalkan anak laki-laki, hanya anak perempuan".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar