Kamis, 05 Januari 2012

gambar gambar

mengapa Imam Al Ghazzali mendapat gelar hujjatul islam ?

Imam Ghazzali dalam kebanyakan literatur tentang "Hujjatul Islam" terbesar ini ia namanya yang benar sebetulnya adalah al-Ghazzali (dengan z ganda) namun dalam kebanyakan teks di Indonesia nama beliau lazim dikenal dengan al-Ghazli (dengan satu z).

Imam Ghazzali adalah salah seorang pemikir terbesar dunia Islam, bukti islam (hujjatul islam), sufi saleh yang tersohor. Kitab Ihya 'Ulumuddin Adalah samudera ilmu yang sarat dengan dasar penalaran dan argumen, penuh dengan ayat Al-Quran, hadist nabi terpuji serta sabda para sahabat dan ucapan para wali terkenal pada masa abad-abad awal islam. Setiap pokok bahasan ditunjang oleh ayat-ayat al-Quran, hadist, dan ucapan para ahli hikmah dan orang bijak serta ditopang oleh dasar pemikiran dan argumen.

Mengapa Imam Ghazzali diberi gelar "Hujjatul Islam" ? Imam Ghazzali berasal dari mazhab Sunni Syafi'i, maka sebagian doktrin keagamaannya yang dijumpai dalam kitab Ihya 'Ulumuddin segaris dan sejalan dengan mazhab tersebut. Meskipun demikian, nilai dari doktrin-doktrin itu sangat besar. Dalam zaman beliau yang sudah semakin berkembang. Imam Ghazzali bukan pengikut buta mazhab itu, namun justru zaman yang mengikuti pemikiran bebasnya sehingga secara tak langsung beliau beliau menciptakan mazhab sendiri. 



Ketika dunia terus berkembang dengan gagasan baru dan temuan ilmiah, Ihya 'Ulumuddin juga kaya dengan kesegaran dan gagasan besar dan temuan ilmiah. Dengan demikian, Imam Ghazzali betul-betul telah menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama dan memberikan daya dorong dan momentum yang belum pernah diberikan oleh ulama dan pemikir pendahulunya.

Beliau menyelamatkan islam dari arus dan arus-balik pemikiran sataniah dan gagasan syirik yang diam-diam menyelinap ke dalam ajaran islam dan secara jernih meluruskan kekeliruan dan kesalahan konsepsi. Pemikirannya mewarnai dan masih berpengaruh pada para pemikir dan filosof yang datang setelahnya. Seandainya Allah Yang Maha Pengasih tidak mengaruniai beliau mutiara cemerlang akal dan hati, kepercayaan islam yang sejati tentu akan larut dan lenyap terseret oleh derasnya arus pemikiran sesat dan syirik.

Biografi Imam Al-Ghazzali

Lahir pada 450 H (1058 M) di desa Taberan distrik Thus, Persia. Dengan nama Abu Hamid Muhammad. Gelarnya adalah "Hujjatul Islam" dan gelar wangsanya adalah Ghazzali. Ayahnya meninggal pada usia muda, sehingga meninggalkannya dalam asuhan ibu dan kakeknya. Ghazzali disebut-sebut sebagai nama sebuah desa di distrik Thus, Provinsi Khurasan, Persia. Menurut Maulana Syibli Nu'mani, leluhur Abu Hamid Muhammad mempunyai usaha pertenunan (ghazzal), dan karena itu dia melestarikan gelar keluarganya (Ghazzali). Pendidikannya. Setelah ayah dari Imam Ghazzali meninggal, ia mempercayakan pendidikan kedua anaknya (Muhammad dan Ahmad) pada sahabatnya yang dipercaya. Lalu ia mengirimkannya ke sebuah Maktab swasta. Keduanya mampu menghafal Al-Quran dengan cepat, lalu mulai belajar Bahasa Arab. Mereka kemudian dimasukkan ke sebuah madrasah bebas (independen). Setelah beberapa waktu Ghazzali meninggalkan desa kelahirannya untuk menempuh pendidikan tinggi di Zarzan dan belajar di bawah bimbingan seorang ulama besar, Imam Abu Nashr Ismail. Setelah itu dia masuk Madrasah Nizamiyah di Nishapur yang waktu itu adalah pusat pendidikan yang terpandang dan dipimpin oleh ulama tersohor bernama Imam Haramin, yang memiliki 400 murid. Tiga diantara sekitar 400 murid itu kemudian menjadi ulama terkenal, Harrasi, Ahmad bin Muhammad dan Ghazzali. Saat gurunya wafat, Ghazzali demikian sedih sehingga meninggalkan Nishapur dan pergi ke Baghdad, ibukota kekhalifahan. Saat itu dia berumur 28 tahun. Di Baghdad dia diangkat menjadi Rektor Madrasah Nizamiyah oleh Nizamul Mulk, wazir kepala sang penguasa Turki Malik Shah. Diangkat pada usia muda untuk jabatan yang tinggi, kemasyurannya sebagai ulama besar menyebar luas dan jauh. Banyak penguasa dan kepala suku datang kepada Imam Ghazzali untuk mendapatkan fatwa dalam perkara teologi dan soal mengurus negara. Dia wafat di desa asalnya, Taberan, pada 14 Jumadil akhir 505 H bertepatan dengan tanggal 19 desember 1111 M. Ibn Jauzi menceritakan kisah kematiannya. Ia berkata, "pada senin dini hari menjelang shubuh dia bangkit dari tempat tidurnya, menunaikan shalat shubuh dan kemudian menyuruh seorang pria untuk membawakan kain kafan kepadanya. Setelah kain itu diberikan, ia mengangkatnya hingga ke mata lalu berkata "Perintah Tuhan dititahkan untuk ditaati". Ketika mengatakan demikian ia menyelonjorkan kaki dan sesaat kemudian ie bernafas untuk terakhir kalinya. Sang imam tidak meninggalkan anak laki-laki, hanya anak perempuan".